Memperkuat Pengawasan PUG, Tugas Penting Yang Nyaris Terabaikan
Senin, 10 Oktober 2022
Judul di atas mungkin terkesan berlebihan. Benarkah Pengarusutamaan Gender (PUG) penting? Dan, benarkah sebagai APIP selama ini kita cenderung mengabaikannya? Menurut pendapat penulis, iya. Mari kita lihat.
Pertama, mengenai seberapa pentingnya PUG. Bagaimana tidak penting, kalau untuk terwujudnya PUG ini presiden sampai mengeluarkan instruksi tersendiri sejak lebih dari satu dekade yang lalu. Melalui Instuksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2000, presiden mengintruksikan Pengarusutamaan Gender dalam pembangunan nasional. PUG harus dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dalam kebijakan dan program pembangunan nasional, mulai dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, hingga pemantauan dan evaluasi.
Nilai penting PUG di tataran nasional makin diperkuat oleh adanya SDG’S (Sustainable Development Goals). SDG’S merupakan komitmen dan rencana aksi global untuk mensejahterakan masyarakat dunia melalui agenda pembangunan berkelanjutan, yang disepakati dan dideklarasikan oleh para pemimpin dunia--termasuk Indonesia--pada tahun 2015 silam. SDG’S berisi 17 tujuan, dan tujuan nomor limanya adalah Kesetaraan Gender. Kemudian, komitmen kuat untuk mencapai kesetaraan gender ini dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) IV 2020 – 2024, yang mana “gender” menjadi salah satu di antara empat pengarusutamaan dalam RPJMN dimaksud. Tiga lainnya adalah: Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, Modal Sosial dan Budaya, serta Transformasi Digital. Jadi, jelas, bahwa PUG merupakan salah satu elemen yang sangat penting dalam agenda pembangunan nasional kita.
Kedua, benarkah kita selaku APIP selama ini cenderung abai terhadap PUG? Dari sisi kebijakan, Inspektorat Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Itjen KLHK) sebenarnya telah memberi perhatian terkait pengawasan PUG. Setidaknya dalam menyiapkan sumber daya manusia. Hal ini terbukti dengan telah beberapa kali dilaksanakannya pelatihan mengenai PUG untuk pegawai Itjen KLHK, khususnya para auditor. Penulis sendiri sudah dua kali mengikuti pelatihan dimaksud. Namun, hal tersebut belum diikuti oleh adanya kebijakan yang jelas untuk menerapkan pengawasan PUG.
Tidak adanya kebijakan untuk mengimplementasikan pengawasan PUG tersebut terlihat dari kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh Itjen KLHK dari tahun ke tahun. Sepanjang pengetahuan penulis, pengawasan PUG belum pernah diagendakan dalam Program Kerja Pengawasan Tahunan (PKPT) Itjen KLHK, baik yang sifatnya asurans maupun konsultansi. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa pengawasan PUG masih kering implementasi. Padahal, kita telah memiliki peraturan Inspektur Jenderal Nomor P.5 tahun 2018 tentang Pedoman Pengawasan PUG Lingkup KLHK
Kondisi minim implementasi ini juga terjadi pada tataran individu auditor. Meskipun sebagian besar telah mengikuti pelatihan pengawasan ARG (Anggaran Responsif Gender), namun para auditor cenderung tidak tertarik mendalami persoalan tersebut ketika melakukan kegiatan asurans. Ambil contoh pada kegiatan audit kinerja. Berdasarkan data dan informasi dari Sub Kelompok Kerja PUG Itjen KLHK, diketahui bahwa sejauh ini hanya terdapat satu Laporan Hasil Audit (LHA) yang memuat temuan mengenai pelaksanaan ARG, yaitu Laporan Hasil Audit Kinerja pada Balai Taman Nasional Batang Gadis tahun 2018.
Dalam berbagai diskusi internal Sub Pokja PUG Itjen KLHK, dimana penulis adalah salah seorang anggota, disimpulkan, bahwa “keengganan” para auditor mencermati permasalahan ARG tersebut paling tidak disebabkan oleh dua hal. Pertama, karena merasa tidak ada kebijakan formal dari pimpinan, sebagaimana telah disinggung tadi. Kedua, karena dalam praktek audit yang selama ini berkembang di lingkup Itjen KLHK, ARG belum dianggap penting. Jika seorang auditor ingin menulis temuan/catatan tentang ARG, cenderung kurang dihargai oleh ketua tim, dalnis, maupun penanggung jawab audit. Apalagi dalam kondisi relatif terbatasnya waktu pelaksanaan audit, biasanya akan ada semacam judgement dalam tim agar mencari temuan yang penting-penting saja. Dalam hal ini temuan terkait ARG dianggap sebagai salah satu yang tidak penting, sehingga diabaikan begitu saja.
Kondisi yang hampir sama juga terjadi saat reviu RKA-K/L. Auditor juga kesulitan menerapkan prosedur reviu yang ideal. Namun, dalam hal ini penyebabnya adalah adanya tuntutan proses penyusunan RKA-K/L yang harus terus berjalan dengan tata waktu yang ketat sehingga menyebabkan APIP cenderung hanya melakukan reviu dari aspek pemenuhan kelengkapan persyaratan saja dan mengabaikan aspek kualitas dari subtansi persyaratan yang harus dipenuhi oleh penyusun anggaran tersebut.
Imbas dari kurang optimalnya pengawasan PUG ini menyebabkan kualitas dan permasalahan pelaksanaan PUG/ARG lingkup Kementerian LHK tidak sepenuhhya dapat diketahui. Kondisi ini menjadi ironi jika kita hubungkan dengan fakta bahwa Kementerian LHK adalah penerima anugerah Parahita Ekapraya, yaitu penghargaan yang diberikan Pemerintah Pusat sebagai pengakuan atas komitmen, upaya dan prestasi kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah atas pelaksanaan pembangunan yang menjamin kesetaraan dan keadilan gender mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga hasil yang dicapai.
Beberapa kementerian/lembaga pernah berkonsultasi bahkan datang melakukan studi banding untuk mempelajari bagaimana implementasi PUG di KLHK sehingga bisa mendapatkan penghargaan prestisius itu. Tentu agak ganjil, jika Inspektorat Jenderal sebagai pengawas internal justru tidak mengetahui secara memadai kondisi pelaksanaan PUG lingkup Kementerian LHK.
Meski demikian, berdasarkan hasil beberapa kali pelaksanaan audit kinerja maupun reviu RKA-K/L yang pernah diikuti penulis, penulis melihat secara umum setidaknya terdapat dua hal yang menjadi kelemahan dalam pelaksanaan PUG/ARG lingkup Kementerian LHK, yaitu masih terbatasnya kebijakan/program/kegiatan yang sudah responsif gender, dan masih belum dipahaminya bagaimana konsep dan implementasi ARG di antara para pengambil keputusan di pusat maupun pelaksana kegiatan di tingkat UPT.
Penulis ingin memfokuskan pada kelemahan kedua, yaitu belum dipahaminya bagaimana konsep dan implementasi ARG yang ideal.
Dimulai dari bagaimana menentukan kegiatan apa yang harus di-tagging ARG. Pada tahap ini, kelemahan yang paling kentara adalah tidak jelasnya isu gender apa yang sedang dihadapi sehingga suatu kegiatan itu perlu ditetapkan sebagai kegiatan ARG. Penyusun anggaran tidak dapat menjelaskan secara konkrit adanya permasalahan kesenjangan gender dalam lingkup pelaksanaan tugas dan fungsi mereka sehingga kegiatan A atau kegiatan B misalnya, ditetapkan sebagai kegiatan ARG. Seharusnya, ARG ditetapkan karena adanya fenomena kesenjangan gender yang nyata-nyata sedang dihadapi sehingga perlu dientaskan dengan kegiatan berkonsep ARG. Tujuannya tentu saja di akhir kegiatan, isu kesenjangan gender itu teratasi atau minimal berkurang kompleksitasnya.
Selanjutnya, pengajuan kegiatan ARG belum didukung oleh data pembuka wawasan berupa data terpilah gender. Kondisi ini terjadi sebagai konsekwensi dari kondisi pertama tadi. Ketika tidak jelas mau mengentaskan isu gender apa, tentu tidak jelas pula data apa yang diperlukan untuk mendukungnya. Padahal, data terpilah gender ini lah yang akan menjadi bukti dan membuka wawasan bahwa memang sedang terjadi suatu kondisi kesenjangan gender dan perlu segera dientaskan.
Akibat dari itu, sebagaimana juga sudah di singgung tadi, semua dokumen kelengkapan ARG yang dilampirkan oleh penyusun anggaran cenderung hanya sekedar memenuhi kelengkapan syarat saja agar dapat diproses lebih lanjut. Sementara, substansinya belum menggambarkan sebuah kerangka logis perencanaan ARG yang ideal. Muara dari semuanya, sudah barang tentu pelaksanaan kegiatan pada tingkat UPT juga masih jauh dari konsep ARG yang diharapkan. Yaitu mampu mengatasi permasalahan kesenjangan gender berupa hilang/berkurangnya kesenjangan tersebut dengan indikiator-indikator yang dapat diukur.
Ada satu contoh sederhana namun ideal yang menurut penulis bisa memperlihatkan kerangka logis suatu isu gender (sumber: Materi pemaparan Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olahraga, Kementerian PPN/Bappenas pada acara Kemenkeu Corpu Talk tanggal 16 Juni 2021).
Ada fakta menarik tentang isu kesenjangan gender terkait ASN PNS. Data terpilah mengungkap fakta bahwa jumlah PNS perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Pada seluruh jenjang pendidikan, komposisi PNS juga lebih banyak perempuan daripada laki-laki, termasuk pada jenjang pendidikan Strata 3. Namun, ternyata untuk komposisi pejabat struktural, jumlah pejabat laki-laki jauh lebih banyak dari pada perempuan (eselon IV hingga I). Data ini mengindikasikan bahwa terdapat fenomena kesenjangan gender terkait pengisian jabatan struktural di seluruh instansi pemerintah.
Nah, kondisi ini yang harus ditemukenali permasalahannya. Ada isu apa? Patut dipertanyakan, kenapa PNS perempuan mentok karirnya? Apa saja penyebabnya? Untuk menjawabnya, tentu perlu kajian, kemudian dicarikan pemecahan masalahnya melalui program-program afirmasi (program penguatan untuk kelompok non dominan).
Kerangka logis demikian yang belum terlihat dalam pengajuan ARG lingkup KLHK. Untuk itu, masing-masing Unit Eselon I perlu kembali menemukenali dan menggali data yang memuat indikasi adanya kondisi kesenjangan gender di lingkup pelaksanaan tugas dan fungsi masing-masing.
Ambil contoh di lingkup Inspektorat Jenderal. Anggaplah, ada data bahwa dalam pelaksanaan audit, secara rata-rata auditor perempuan ternyata lebih produktif dalam menulis temuan dibanding auditor laki-laki. Namun, secara karir auditor perempuan justru mandeg. Secara kesempatan terhambat. Fasilitasi sarpras—misal laptop—juga kurang dibanding auditor laki-laki, dan lain-lain masalah. Ini jelas sebuah kondisi kesenjangan gender yang perlu diintervensi melalui pendekatan PUG.
Begitu pula untuk unit-unit eselon I lainnya. Bidang rehabilitasi hutan dan lahan, perhutanan sosial, konservasi sumber daya alam dan ekosistem, pengelolaan sampah dan limbah, dan lain-lain, semua perlu menemukenali isu kesenjangan gender sesuai tugas dan fungsi masing-masing untuk kemudian bisa merancang kegiatan ARG dengan kerangka logis yang tepat.
Sebagai penutup, penulis menyimpulkan bahwa peran Inspektorat Jenderal selaku APIP dalam mengawasi implementasi PUG lingkup KLHK belum optimal dan perlu direvitalisasi. Beberapa langkah stategis perlu segera ditempuh agar peran tersebut lebih optimal, antara lain:
- Mengkaji ulang Perirjen Nomor P.05 tahun 2018 tentang Pedoman Pengawasan PUG Lingkup KLHK kemudian segera menyempurnakannya jika dianggap belum memadai.
- Menjadikan PUG/ARG sebagai kegiatan pengawasan wajib dalam PKPT Inpektorat Jenderal.
- Melakukan penyegaran pemahaman konsep PUG/ARG kepada seluruh jajaran Inspektorat Jenderal, khususnya Auditor, agar mampu melaksanakan kegiatan pengawasan PUG/ARG secara lebih optimal.
- Sub Pokja PUG Inspektorat Jenderal agar mengintensifkan konsultasi/ koordinasi/ komunikasi dengan Pokja PUG KLHK maupun Sub Pokja PUG seluruh unit eselon I lingkup KLHK.
Daftar Kepustakaan
- Instuksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2000, Tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional.
- Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.31/Menlhk/Setjen/Set.1/5/2017 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
- Materi Pemaparan Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olahraga Kementerian PPN/Bappenas pada acara Kemenkeu Corpu Talk tanggal 16 Juni 2021.
[Penulis : Arfizon, S.Sos., M.Hum]
Salin Tautan :